BIMBINGAN
ORANG TUA
TERHADAP
ANAK TUNA GRAHITA
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester
Mata Kuliah:
Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu:
Indriya Mulyaningsih, M.Pd
Oleh:
Agung Saputra
14123641386
ADDIIN
BIMBINGAN
KONSELING ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEIKH
NURJATI
CIREBON
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bagi semua remaja tunagrahita
keberadaannya bagi orang tua merupakan suatu kewajiban dan kebutuhan yang mesti
dipenuhi. Kebutuhan ini disebut juga sebagai kebutuhan primer. Cerminan
kebutuhan tersebut dapat dilihat dari sikap remaja tunagrahita, sedangkan sikap
orang tua dari remaja itu sendiri sangatlah menentukan dalam perkembangannya.
Dikala seorang anak tunagrahita sudah mulai menginjak usia remaja, semua sikap yang dimunculkan oleh orang tua yang memiliki penyandang tunagrahita akan membantu mereka dalam semua kegiatan dan masalah yang dihadapinya. Akan tetapi bila remaja mempunyai orang tua yang bersikap otoriter maka akan dapat menimbulkan remaja tunagrahita yang cenderung pembangkang, suka berbuat sesuka hati, dan menimbulkan kejengkelan bagi orang-orang di sekitarnya.
Dikala seorang anak tunagrahita sudah mulai menginjak usia remaja, semua sikap yang dimunculkan oleh orang tua yang memiliki penyandang tunagrahita akan membantu mereka dalam semua kegiatan dan masalah yang dihadapinya. Akan tetapi bila remaja mempunyai orang tua yang bersikap otoriter maka akan dapat menimbulkan remaja tunagrahita yang cenderung pembangkang, suka berbuat sesuka hati, dan menimbulkan kejengkelan bagi orang-orang di sekitarnya.
Pola sikap otoriter yang ditampilkan
orang tua akan menciptakan rasa tidak senang akan menimbulkan masalah seperti;
a) kurang percaya diri, b) menarik diri dari pergaulan, c) melakukan
pemberontakan terhadap rasa ketidak senangan. Akhirnya banyak tindakan yang
tidak disenangi oleh orang tua. Perilaku ini merupakan suatu dilema yang saling
berkaitan satu sama lainnya, karena ia tidak dapat berjalan sendiri-sendiri
tanpa adanya interaksi sosial yang diharapkan berjalan dengan harmonis.
Pengetahuan dan pemahaman orang tua terhadap kelainan yang di sandang anaknya yang memiliki kelainan tunagrahita sangatlah mendorong pola layanan pendidikan demi pertumbuhan anak tunagrahita kelak. Sebab kesalahan yang dibuat orang tua yang sudah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama akan dapat menghambat perkembangan kemampuan, serta pertumbuhan anak tunagrahita. Sehingga bisa menimbulkan berbagai rasa frustrasi, rasa berdosa dan berbagai tudingan yang tidak mampu dijawab sendiri oleh orang tua.
Pengetahuan dan pemahaman orang tua terhadap kelainan yang di sandang anaknya yang memiliki kelainan tunagrahita sangatlah mendorong pola layanan pendidikan demi pertumbuhan anak tunagrahita kelak. Sebab kesalahan yang dibuat orang tua yang sudah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama akan dapat menghambat perkembangan kemampuan, serta pertumbuhan anak tunagrahita. Sehingga bisa menimbulkan berbagai rasa frustrasi, rasa berdosa dan berbagai tudingan yang tidak mampu dijawab sendiri oleh orang tua.
Sebagai manusia yang mengalami
keterbatasan dalam berfikir, maka remaja tunagrahita akan banyak mengalami
hambatan dalam setiap gerakan dan persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Permasalahan akan bertambah runyam jika orang tua bersikap otoriter dan tidak
berusaha untuk memahami kemampuan remaja tunagrahita. Dalam kehidupan
sehari-hari remaja tunagrahita juga sama seperti remaja normal umumnya, namu
mereka selalu berkaitan dengan keterbatasan intelektual dalam bertindak . Berdasarkan
sebab itu maka orang tua semestinya arif menghadapi kenyataan tersebut.
Bagaimana persoalannya jika orang tua selalu menuntut kemampuan pada anaknya
yang menyandang kelainan tunagrahita tersebut. Apa saja persoalan yang akan
muncul ?
Beberapa paradigma yang muncul deperti di atas tadi mendorong penulis untuk mengangkatnya sebagai suatu permasalahan yang perlu dicarikan solusinya sehingga antara orang tua dan remajanya yang menyandang tunagrahita dapat saling toleransi dan memahami satu sama lainnya. Berkenaan dengan itu maka tulisan ini berusaha mengetengahkan beberapa pengaruh sikap Otoriter Orang Tua terhadap Remaja Tunagrahita dan.
Beberapa paradigma yang muncul deperti di atas tadi mendorong penulis untuk mengangkatnya sebagai suatu permasalahan yang perlu dicarikan solusinya sehingga antara orang tua dan remajanya yang menyandang tunagrahita dapat saling toleransi dan memahami satu sama lainnya. Berkenaan dengan itu maka tulisan ini berusaha mengetengahkan beberapa pengaruh sikap Otoriter Orang Tua terhadap Remaja Tunagrahita dan.
B.
Rumusan Masalah
Agar
pembahasan dapat diuraikan sesuai dengan cerminan judul maka permasalahan akan
dimunculkan dalam bentuk pertanyaan seperti di bawah ini. Apakah akibat dari
sikap orang tua otoriter terhadap remaja tuna grahita ?
C.
Tujuan Penulisan
Menegetahui
dan memahami sikap orangtua yang otoriter terhadap remaja tuna grahita.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan Teori
1.
Pengertian Remaja Tunagrahita
Memberikan pengertian tentang remaja
tidak mudah, sebab banyak tulisan yang memberikan pengertian tentang remaja,
tergantung dari cara pandang atau sisi disiplin ilmu yang memberikan batasan
pengertian tersebut. Beberapa cara pandang yang memberikan pergertian tersebut
menurut Mappiare (1982) seperti; menurut pandangan hukum, berdasarkan ukuran fisik,
menurut kesehatan, dan cara pandang sosial psikologi.
Pengertian remaja tunagrahita menurut kamus bahasa Indonesia (Balai Pustaka 1994) dapat berarti beralihnya perkembangan fisik seorang anak tunagrahita kepada keadaan mulai dewasa atau bukan kanak-kanak lagi.
Pengertian remaja tunagrahita menurut kamus bahasa Indonesia (Balai Pustaka 1994) dapat berarti beralihnya perkembangan fisik seorang anak tunagrahita kepada keadaan mulai dewasa atau bukan kanak-kanak lagi.
2. Pengertian
Orang Tua
Orang tua adalah orang-orang yang
melengkapi budaya mempunyai tugas untuk mendefinisikan apa yang baik dan apa
yang dinggap buruk. Sehingga anak akan merasa baik bila tingkah lakunya sesuai
dengan norma tingkah laku yang diterima di masyarakat.
Pemahaman orang tua yang baik menurut Soekanto (1991) dengan beberapa yang mencirikannya seperti berikut::
Pemahaman orang tua yang baik menurut Soekanto (1991) dengan beberapa yang mencirikannya seperti berikut::
1. Melakukan
berbagai hal untuk anak.
2. Merupakan
tempat bergantung bagi anak.
3. Bersikap
cukup permisif dan luwes.
4. Bersikap
adil dan disiplin
5. Menghargai
anak tunagrahita sebagai individu
6. Mampu
menciptakan kehangatan bagi anak
7. Mampu
memberi contoh yang baik
8. Biasa
menjadi kawan dan menemani anak tunagrahita dalam berbagai kegiatan
9. Selalu
bersikap baik
10. Menunjukkan
rasa kasih sayang pada anak
11. Memiliki
rasa empati terhadap perasaan anak
12. Mendorong
anak tunagrahita untuk bermain dengan temannya
13. Berusaha
membuat suasana damai
14. Membantu
kemandirian anak tunarung
Sebaliknya tentang pandangan orang
tua yang buruk menurut anak masih dalam Soekanto (1991) seperti berikut:
1. Menghukum
secara kasar dan tidak adil.
2. Menghalangi
minat dan kegiatan anak.
3. Membentuk
anak menurut pola yang baik.
4. Memberikan
contoh yang buruk.
5. Mudah
jengkel dan marah.
6. Sedikit
rasa kasih saying terhadap anak.
7. Mudah
marah bila anak membuat kesalahan tidak sengaja.
8. Kurang
perhatian terhadap kegiatan anak.
9. Melarang
anak bergaul dengan teman.
10. Bersikap
jahat pada teman anak.
11. Menghukum
dengan kasar.
12. Harapan
terhadap anak tidak realistis.
13. Mengecam
dan menyalahkan anak bila gagal
14. Membuat
suasana rumah tegang atau tidak menyenangkan
Berdasarkan beberapa karakter di atas
maka orang tua dapat dikatakan sebagai orang yang memegang peranan penting
dalam perkembangan seseorang anak. Juga tidak terlepas terhadap pandangan orang
tua pada penyandang tunagrahita. Dengan demikian orang tua anak tunagrahita
juga mempunyai peran yang sama dengan orang tua pada umumnya. Namun bagi orang
tua yang memiliki anak tunagrahita umumnya mereka lebih membutuhkan perhatian
yang lebih ketat terhadap perkembangan anak tunagrahita. Hal ini diasumsikan
karena anak tunagrahita mempunyai perkembangan dan pertumbuhan yang jauh
berbeda dengan anak normal. Hal ini jelas seperti definisi anak tunagrahita
yang ditulis oleh beberapa pakar pendidikan luar biasa seperti berikut.
Difinisi American Association on Mental Retardation (AAMR) berlatar belakang profesi, di antaranya medis, hukum, dan pendidikan, yang mengatakan seperti berikut:
…mental retardation refers to significantly subaverage general intelectual functioning existing concurrently with deficits in adaptive behavior, and manifested during the developmental period (Grossman, 1983 dalam Hardman, L. Michael 1990:90)
Difinisi American Association on Mental Retardation (AAMR) berlatar belakang profesi, di antaranya medis, hukum, dan pendidikan, yang mengatakan seperti berikut:
…mental retardation refers to significantly subaverage general intelectual functioning existing concurrently with deficits in adaptive behavior, and manifested during the developmental period (Grossman, 1983 dalam Hardman, L. Michael 1990:90)
Makna
tersebut terdiri atas tiga komponen utama yaitu; Intelligence, adaptive
behavior, and the developmental period. Kemampuan inteligensi, berdasarkan
rata-rata tes IQ normal adalah 100, sedangkan untuk anak terbelakang mental
menunjukan angka tes IQ di bawah 100. Definisi anak tunagrahita menurut
American Association on Mental Deficiency (AAMD) sebagai berikut.
…mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or associated with concurrent impairments in adaptive behavior manifested during the develompemntal period (Grossman, 1983 dalam Linch, W.Eleanor. 1992:99)
…mental retardation refers to significantly subaverage general intellectual functioning resulting in or associated with concurrent impairments in adaptive behavior manifested during the develompemntal period (Grossman, 1983 dalam Linch, W.Eleanor. 1992:99)
In
this definition “significantly subaverage general intellectual functioning”
refers to an IQ of 70 or below on a standardized tes of intelligence such as
the Stanford-Binet Intelligence Scales for Children or one of the Wecshler
intelligence scales. (Terman & Merrill, 1973) or one of the Wechsler
intelligence scales. This score represents performance that is two standard
deviations below the mean, or average score, on these tests. The AAMD Manual
states that an IQ of 70 should be viewed only as a guideline; in some school
placement decicions it minght be extended upward to 70. (Linch, W. Eleanor.
1992:99).
Senada
dengan definisi yang dikemukakan di atas, Amin (1995:18) menyatakan seperti
berikut:
Anak
terbelakang mental atau anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas
berada di bawah rata-rata. Mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan, kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang bersifat
abstrak, yang sulit dan berbelit-belit. Mereka memerlukan layanan pendidikan
secara khusus agar mereka dapat berkembang optimal.
Robert P. Ingals (1978:5) dalam Amin (1995:20) memberi sebutan bagi anak tunagrahita sebagai berikut: Mental retardation, mental defiency, mentally defective, mentally handicaped, feeblemindedness, mental subnormality, amentia and oligophrenia. Istilah yang sering dipakai di Indonesia adalah terbelakang mental dan tunagrahita. Berkaitan dengan kondisi remaja, maka remaja bagi penyandang tunagrahita menunjukan cirri-ciri pertumbuhan secara fisik hamper sama dengan kondisi remaja pada umumnya. Tetapi dari segi perkembangan mereka memiliki gambaran kemampuan segi intelektual yang jauh tertinggal jika dibandingkan dengan perkembangan remaja pada umumnya. Perkembangan mereka umumnya masih seteraf dengan perkembangan masa kanak-kanak.
Robert P. Ingals (1978:5) dalam Amin (1995:20) memberi sebutan bagi anak tunagrahita sebagai berikut: Mental retardation, mental defiency, mentally defective, mentally handicaped, feeblemindedness, mental subnormality, amentia and oligophrenia. Istilah yang sering dipakai di Indonesia adalah terbelakang mental dan tunagrahita. Berkaitan dengan kondisi remaja, maka remaja bagi penyandang tunagrahita menunjukan cirri-ciri pertumbuhan secara fisik hamper sama dengan kondisi remaja pada umumnya. Tetapi dari segi perkembangan mereka memiliki gambaran kemampuan segi intelektual yang jauh tertinggal jika dibandingkan dengan perkembangan remaja pada umumnya. Perkembangan mereka umumnya masih seteraf dengan perkembangan masa kanak-kanak.
1.
Pengaruh
orang tua
Banyak tulisan berupa buku-buku,
artikel, bahkan diseminarkan dalam kuliah di kampus tentang cara mendidik anak.
Namun hal itu tidak mungkin dapat segera diterapkan, karena orang tua belajar
secara alamiah tentang cara mengasuh. Sehingga keadaan demikian berada dalam
status quo, sampai seluruh situasi yang mengepung orang tua berangsur mulai
berubah.
Sekarang ini orang tua tidak lagi dihadapkan pada masalah kesulitan dalam membesarkan anak. Anak–anak sekarang ini dilahirkan di zaman yang demokratis, yang berlawanan sekali dengan sistim yang dianut oleh para orang tua. Pada kenyataannya menunjukkan penerapan prinsip mengasuh anak bagi kedua system ini, dan sulit dibandingkan secara paralel. Pemakaian metode dalam mendidikan anak bagi orang tua dapat berupa otoriter, permisif, ataupun yang demokratis semuanya akan bergantung pada cara mereka sendiri dibesarkan. Sebagiannya lagi akan menjalankan berdasarkan apa yang dialaminya, ataupun pengetahuan yang mempengaruhinya.
Semua sikap yang ditampilkan oleh orang tua merupakan hasil belajar. Banyak faktor yang ikut menentukan sikap apa yang akan dipelajari orang tua? menurut Soerjono (1991) yang paling umum adalah sebagai berikut:
Sekarang ini orang tua tidak lagi dihadapkan pada masalah kesulitan dalam membesarkan anak. Anak–anak sekarang ini dilahirkan di zaman yang demokratis, yang berlawanan sekali dengan sistim yang dianut oleh para orang tua. Pada kenyataannya menunjukkan penerapan prinsip mengasuh anak bagi kedua system ini, dan sulit dibandingkan secara paralel. Pemakaian metode dalam mendidikan anak bagi orang tua dapat berupa otoriter, permisif, ataupun yang demokratis semuanya akan bergantung pada cara mereka sendiri dibesarkan. Sebagiannya lagi akan menjalankan berdasarkan apa yang dialaminya, ataupun pengetahuan yang mempengaruhinya.
Semua sikap yang ditampilkan oleh orang tua merupakan hasil belajar. Banyak faktor yang ikut menentukan sikap apa yang akan dipelajari orang tua? menurut Soerjono (1991) yang paling umum adalah sebagai berikut:
1. Konsep
“anak idaman” yang terbentuk sebelum kelahiran anak sangat diwarnai dengan
romantisme, didasarkan atas gambaran anak ideal bagi orang tua itu. Bila anak
gagal memenuhi harapan orang tua maka ia akan merasa kecewa dan mulai bersikap
menolak.
Kegagalan seperti yang dicemaskan di atas akan banyak dialami oleh anak, dengan demikan orang tua tidak akan terpenuhi keinginannya dan akan selalu merasa kecewa atas kemampuan anak.
Kegagalan seperti yang dicemaskan di atas akan banyak dialami oleh anak, dengan demikan orang tua tidak akan terpenuhi keinginannya dan akan selalu merasa kecewa atas kemampuan anak.
2. Pengalaman
awal dengan anak mewarnai sikap orang tua terhadap anaknya sendiri. Dapat
diarti sebagai dua kemungkinan pengalaman yakni pengalaman baik dan pengalaman
buruk.
3. Nilai
budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak, secara otoriter, permisif, dan
demokratis akan mempengaruhi sikap orang tua dan cara mereka memperlakukan anak
mereka sendiri.
Cara-cara terbaik yang mungkin cocok bagi anak yang inteligensinya normal jika akan diterapkan bagi anak tunagrahita maka ia tidaklah segera sesuai, sebab kemungkinan bila suatu cara dianggap baik untuk anak normal namun bagi anak tunagrahita belum tentu akan berlaku baik.
Cara-cara terbaik yang mungkin cocok bagi anak yang inteligensinya normal jika akan diterapkan bagi anak tunagrahita maka ia tidaklah segera sesuai, sebab kemungkinan bila suatu cara dianggap baik untuk anak normal namun bagi anak tunagrahita belum tentu akan berlaku baik.
2.
Tipe-tipe
Orang Tua
Perbedaan tipe-tipe orang tua dapat
dikelompokkan dalam suatu skala. Skala yang dimaksudkan adalah beberapa cara
yang dilakukan oleh orang tua tentang bagaimana mereka mendorong pengambilan
keputusan secara bebas terhadap bimbingan dan mendidik anaknya .
Beberapa cara yang mungkin dilakukan tersebut menurut Soerjono (1991) dapat dilakukan hal di bawah ini.
Beberapa cara yang mungkin dilakukan tersebut menurut Soerjono (1991) dapat dilakukan hal di bawah ini.
1. Orang
tua yang melindungi secara berlebihan
Perlindungan orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan pengenalan anak terlalu berlebihan. Hal seperti ini akan menimbulkan sikap ketergantungan bagi diri remaja tunagrahita yang berlebihan pula, sehingga rentang ketergantungan pada orang lain akan lebih lama pula dan dapat membuat kurangnya rasa percaya diri bagi remaja.
Perlindungan orang tua yang berlebihan mencakup pengasuhan dan pengenalan anak terlalu berlebihan. Hal seperti ini akan menimbulkan sikap ketergantungan bagi diri remaja tunagrahita yang berlebihan pula, sehingga rentang ketergantungan pada orang lain akan lebih lama pula dan dapat membuat kurangnya rasa percaya diri bagi remaja.
2. Permisivitas
orang tua
Orang tua akan memberikan kebahagiaan penuh pada anaknya untuk berbuat. Sikap permisivitas pada orang tua akan terlihat pada orang tua yang membiarkan anaknya untuk berbuat sesuka hati, dengan memberikan sedikit kekangan. Sikap demikian akan mampu menciptakan situasi rumah tangga yang “berpusat pada anak”. Jika sikap permisif ini tidak berlebihan, ia akan mampu mendorong anak untuk menjadi cerdik, mandiri dalam kebutuhan pribadi, penyesuaian sosial yang baik, mampu menumbuhkan rasa percaya diri, daya kreativitas, dan kematangan sikap.
Orang tua akan memberikan kebahagiaan penuh pada anaknya untuk berbuat. Sikap permisivitas pada orang tua akan terlihat pada orang tua yang membiarkan anaknya untuk berbuat sesuka hati, dengan memberikan sedikit kekangan. Sikap demikian akan mampu menciptakan situasi rumah tangga yang “berpusat pada anak”. Jika sikap permisif ini tidak berlebihan, ia akan mampu mendorong anak untuk menjadi cerdik, mandiri dalam kebutuhan pribadi, penyesuaian sosial yang baik, mampu menumbuhkan rasa percaya diri, daya kreativitas, dan kematangan sikap.
3. Memanjakan
anak
Sikap memanjakan akan menimbulkan
sikap egois, suka menuntut, dan memaksakan kehendak pada anak. Mereka menuntut
perhatian dan pelayanan dari orang alain, perilaku yang menyebabkan penyesuaian
sosial yang buruk di rumah dan luar rumah.
4. Penolakan
Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau dengan menuntut terlalu banyak dan sikap permusuhan yang lebih terbuka. Disini orang tua membuat semua keputusan dan anak tunagrahita tidak boleh bertanya. Sikap demikian akan memunculkan rasa dendam, perasaan tak berdaya, frustrasi, perilaku gugup, dan sikap bermusuhan dengan orang lain, terutama bagi mereka yang lemah dan kecil. Inilah yang disebut dengan orang tua yang bersifat autokratis atau otoriter.
Penolakan dapat dinyatakan dengan mengabaikan kesejahteraan anak atau dengan menuntut terlalu banyak dan sikap permusuhan yang lebih terbuka. Disini orang tua membuat semua keputusan dan anak tunagrahita tidak boleh bertanya. Sikap demikian akan memunculkan rasa dendam, perasaan tak berdaya, frustrasi, perilaku gugup, dan sikap bermusuhan dengan orang lain, terutama bagi mereka yang lemah dan kecil. Inilah yang disebut dengan orang tua yang bersifat autokratis atau otoriter.
5. Penerimaan
Sikap penerimaan bagi orang tua ditandai dengan adanya perhatian besar dan kasih sayang pada anak. Orang tua yang menerima akan memperhatikan perkembangan kemampuan, dan memperhitungkan minat anak. Orang tua akan mendorong anak untuk membicarakan apa yang diinginkan. Anak yang diterima umumnya mampu bersosialisasi dengan baik, bersikap kooperatif, berlaku ramah, bergaul loyal, secara emosional stabil dan gembira.
Sikap penerimaan bagi orang tua ditandai dengan adanya perhatian besar dan kasih sayang pada anak. Orang tua yang menerima akan memperhatikan perkembangan kemampuan, dan memperhitungkan minat anak. Orang tua akan mendorong anak untuk membicarakan apa yang diinginkan. Anak yang diterima umumnya mampu bersosialisasi dengan baik, bersikap kooperatif, berlaku ramah, bergaul loyal, secara emosional stabil dan gembira.
6. Dominasi
Anak yang didominasi oleh salah satu orang tua, akan mampu bersikap jujur, sopan, dan berhati-hati. Tetapi anak ini cenderung pemalu, patuh, dan mudah dipengaruhi orang lain, mengalah, dan sangat sensitive. Pada anak yang didominasi sering akan berkembang rasa rendah diri dan perasaan menjadi korban keinginan orang tua yang tidak mampu dicapainya.
Anak yang didominasi oleh salah satu orang tua, akan mampu bersikap jujur, sopan, dan berhati-hati. Tetapi anak ini cenderung pemalu, patuh, dan mudah dipengaruhi orang lain, mengalah, dan sangat sensitive. Pada anak yang didominasi sering akan berkembang rasa rendah diri dan perasaan menjadi korban keinginan orang tua yang tidak mampu dicapainya.
7. Tunduk
pada anak
Orang tua yang tunduk pada anaknya
akan membiarkan anak mendominasi mereka. Di sini orang tua akan membiarkan anak
untuk mencari jalannya sendiri. Anak akan suka memerintah orang tua dan akan
menunjukkan sedikit rasa tenggang rasa, penghargaan, atau loyalitas pada
mereka. Anak akan belajar untuk menentang semua yang berwenang dan mencoba
mendomninasi orang di luar lingkungan rumah.
8. Favoritisme
Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai semua anak dengan sama rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit tersendiri. Sikap yang seperti ini akan membuat mereka lebih menuntut dan mencintai anak yang difavoritkannya dari pada anak yang lain dalam keluarga tersebut. Anak yang disenangi cenderung memperlihatkan sisi baik pada orang tua mereka tetapi agresif dan dominan dalam hubungan dengan kakak atau adik mereka.
Meskipun mereka berkata bahwa mereka mencintai semua anak dengan sama rata, kebanyakan orang tua mempunyai favorit tersendiri. Sikap yang seperti ini akan membuat mereka lebih menuntut dan mencintai anak yang difavoritkannya dari pada anak yang lain dalam keluarga tersebut. Anak yang disenangi cenderung memperlihatkan sisi baik pada orang tua mereka tetapi agresif dan dominan dalam hubungan dengan kakak atau adik mereka.
9. Ambisi
Orang Tua
Hampir semua orang tua mempunyai
ambisi terhadap anak mereka. Ambisi tersebut sering kali sangat tinggi sehingga
tidak realistis. Ambisi orang tua ini sering dipengaruhi oleh tidak tercapainya
atau hasrat orang tua supaya anak mereka naik status sosialnya. Bila anak tidak
dapat memenuhi ambisi orang tua, anak cenderung terlihat bersikap bermusuhan,
tidak bertanggung jawab, dan berprestasi di bawah kemampuan. Keadaan ini akan
lebih parah bila anak memiliki perasaan tidak mampu yang sering diwarnai
perasaan dijadikan orang yang dikorbankan akibat kritik orang tua terhadap
rendahnya prestasi mereka.
3. Pengaruh
Orang Tua Otoriter Terhadap Remaja
Ketika seseorang anak mulai tumbuh
dan berkembang menjadi remaja maka, orang tua mempunyai peranan yang sangat
besar sekali terhadap perkembangan diri seseorang remaja. Hal ini disebabkan
karena orang tua memiliki banyak waktu untuk mengenal perilaku anaknya dan
orang tua yang paling dekat dengan remaja.
Sikap
orang tua terhadap remaja akan sangat mempengaruhi bagaimana seorang remaja itu
bersikap dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Orang tua yang bersikap
otoriter menyukai hal-hal yang jelas dan tidak ambiguous. Jadi setiap hukuman
atau disiplin tidak dicarikan dengan kelembutan, penerimaan, dan alasan..Bagi
orang tua yang memiliki remaja tunagrahita perlu membatasi diri dan berusaha
untuk memahami keadaan remaja sehingga remaja memahami bahwa orang tuanya masih
memperhatikannya, masih menyayanginya. Dengan demikian orang tua berusaha
menjauhkan sikap angker, tidak bersahabat, berperasaan dingin yang pada
akhirnya membuat remaja tunagrahita merasa bahwa dia masih diperhatikan oleh
orang tua.
Jika
kebutuhan dan harapan-harapan remaja tunagrahita semuanya dibatasi dan
dikekang, akibatnya akan tumbuh rasa kebencian dan kemarahan yang dapat
merugikan orang lain yang berada dilingkungannya.
Orang tua terlalu ketat mengekang
dapat menyebabkan seorang anak tunagrahita muda mencari kebebasan tersendiri
sesuai dengan kemampuannya. Kemungkinan yang lebih cenderung terjerumus pada
perbuatan kenakalan remaja, hasutan orang lain, dimanfaatkan orang lain untuk
kejahatan dan mungkin akan menggelandang akibat orang lain tidak memahaminya.
Tidak semua apa yang diharapkan oleh orang tua juga merupakan harapan bagi remaja. Khususnya bagi remaja tunagrahita mereka masih sangat perlu bimbingan dan arahan yang sangat membutuhkan perhatian orang lain. Maka peraturan yang hendaknya diciptakan orang tua hendaklah ditentukan atas dasar keinginan dan kemauan yang dapat ditoleransi oleh remaja. Sehingga remaja yang mempunyai konflik dan persoalan yang tidak mampu dipecahkannya akan dapat dijadikan sebagai suatu diskusi yang sangat bernilai bagi remaja. Pada akhirnya antara orang tua dan remaja tunagrahita dapat berjalan sesuai dengan keinginkan kedua belah pihak tanpa mengorbankan anak.
Tidak semua apa yang diharapkan oleh orang tua juga merupakan harapan bagi remaja. Khususnya bagi remaja tunagrahita mereka masih sangat perlu bimbingan dan arahan yang sangat membutuhkan perhatian orang lain. Maka peraturan yang hendaknya diciptakan orang tua hendaklah ditentukan atas dasar keinginan dan kemauan yang dapat ditoleransi oleh remaja. Sehingga remaja yang mempunyai konflik dan persoalan yang tidak mampu dipecahkannya akan dapat dijadikan sebagai suatu diskusi yang sangat bernilai bagi remaja. Pada akhirnya antara orang tua dan remaja tunagrahita dapat berjalan sesuai dengan keinginkan kedua belah pihak tanpa mengorbankan anak.
Beberapa situasi yang mungkin muncul
akibat terjadinya konflik antara remaja dan orang tua menurut Gunarsa (1990)
seperti berikut:
1. Putus
komunikasi, orang tua dan remaja saling mendiamkan dengan perasaan tidak enak
terhadap satu sama lain.
2. Kedua
pihak mengambil sikap konfrontatif, perang mulut, saling menyakiti, membongkar
permasalahan lama, dan lain sebaginya.
3. Remaja
mengambil tindakan nekan yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain.
4. Menghukum
diri sendiri dan melepaskan pada diri sendiri (pelarian pada narkoba, ngebut di
jalan, minuman keras, pergaulan bebas dan sebagainya).
5. Menghukum
orang tua dengan berbagai cara agar orang tua menjadi kapok, misalnya kabur
dari rumah. Berdasarkan gambaran beberapa situasi yang akan dapat muncul bagi
remaja bila ia merasa tidak mendapatkan ketentraman di rumah. Maka selayaknya
orang tua berusaha memahaminya dan mengetahui permasalah dengan objektif tanpa
menyudutkan remaja. Sebagai orang tua kita masih dapat mengajak remaja untuk
berdiskusi dengan baik serta berusaha mencarikan solusi terbaik bagi mereka .
Dengan demikian remaja tunagrahita memandang orang tua tidak sebagai polisi di
rumah, yang siap menghukum dan menghakimi bila mereka bersalah atau gagal pada
suatu pekerjaan. Sebaliknya remaja tunagrahita akan merasakan bahwa ia
dibutuhkan dalam keluarga tanpa merasa khawatir untuk membicarakan semua
persoalan yang dihadapinya. Dengan demikian ia mulai memiliki rasa percaya
diri.
4. Bagaimana
Seharusnya Orang Tua dan Remaja Bersikap
Sikap Orang Tua Terhadap Remaja
Penyandang Tunagrahita
Sejak anak dilahirkan, dirawat dan tumbuh berkembang menjadi remaja, orang tua sangat berperan penting dalam pendidikan dan mengarahkan perkembangan anaknya. Sebagai orang tua harus memiliki kesadaran akan tanggung jawab dalam mendidik anak. Orang tua hendaknya memberikan kasih sayang yang cukup kepada anak. Usaha orang tua yang tidak kalah pentingnya dilakukan orang tua adalah dengan mengenali kemampuan, karakter yang dimiliki anak tunagrahita. Untuk itu beberapa ahli pendidikan luar biasa mengemukakan karakter sepertiberikut.
Bloom, (1974) dalam Kirk dan Gallagher (1990: 88) menyebutkan:
Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam perhatian, terbatas dalam penyesuaian sosial, terbatas dalam perkembangan bahasa, mudah tertarik perhatian atau hiperaktif, sering terlibat dalam kegiatan yang tak produktif (berkelahi, meninggalkan tempat duduk untuk bersosialisasi).
Polloway, Epstein dan Cullinan (1985) dalam Kirk dan Gallagher (1990: 89) menyebutkan berdasarkan hasil penelitian.
Sejak anak dilahirkan, dirawat dan tumbuh berkembang menjadi remaja, orang tua sangat berperan penting dalam pendidikan dan mengarahkan perkembangan anaknya. Sebagai orang tua harus memiliki kesadaran akan tanggung jawab dalam mendidik anak. Orang tua hendaknya memberikan kasih sayang yang cukup kepada anak. Usaha orang tua yang tidak kalah pentingnya dilakukan orang tua adalah dengan mengenali kemampuan, karakter yang dimiliki anak tunagrahita. Untuk itu beberapa ahli pendidikan luar biasa mengemukakan karakter sepertiberikut.
Bloom, (1974) dalam Kirk dan Gallagher (1990: 88) menyebutkan:
Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam perhatian, terbatas dalam penyesuaian sosial, terbatas dalam perkembangan bahasa, mudah tertarik perhatian atau hiperaktif, sering terlibat dalam kegiatan yang tak produktif (berkelahi, meninggalkan tempat duduk untuk bersosialisasi).
Polloway, Epstein dan Cullinan (1985) dalam Kirk dan Gallagher (1990: 89) menyebutkan berdasarkan hasil penelitian.
Murid-murid cacat mental menunjukkan
lebih banyak masalah kekurangan perhatian dibanding teman seusianya yang tidak
cacat. Mereka cenderung menarik diri, acuh tak acuh, mudah bingung dan
mempunyai waktu perhatian yang lebih pendek.
5. Sikap
Remaja Terhadap Orang Tua Otoriter
Pertanyaan yang sering diajukan
remaja mengenai hubungannya dengan orang tuanya adalah “mengapa orang tua kami
tidak dapat memahami kami, atau mengapa orang tua selalu curiga pada kami, dan
mengapa orang tua menganggap dirinya selalu benar?” Untuk memahami pertanyaan
tersebut perlu diusahakan adanya komunikasi antara remaja dengan orang tua yang
memang tidak selalu lancar. Macetnya komunikasi sering terjadi karena sikap
kedua belah pihak yang kurang akomodatif antar satu dengan yang lainnya. Bila
mengahadapi orang tua otoriter, maka remaja harus dapat menyikapinya. Beberapa
saran yang perlu disikapi tersebut menurut Elida (1999) dapat berupa:
1. Remaja
perlu menciptakan hubungan yang baik dengan orang tua. Konflik dengan orang tua
bukanlah suatu yang dapat sama sekali dihindari. Namun yang dapat dilakukan
seperti usahakan agar konflik tadi tidak menjerumus pada putusnya komunikasi,
mendendam, apalagi perbuatan nekad yang merugikan.
2. Berusaha
untuk mengerti posisi dan cara berpikir orang tua. Pada suatu posisi yang
mungkin bias mengakibatkan jatuhnya martabat orang tua, diharapkan remaja mau
mentoleransi dan berusaha memahami unsure positif dari tindakan yang dilakukan
orang tua
3. Jangan
merasa menang sendiri. Bagi remaja jangan menjadikan orang uta dalam semua
urusan dengannya sebagai ajang perlombaan yang akan menemukan pemenang. Dengan
demikian posisi orang tua akan diusahakan menjadi teman berbicara, berdiskusi
dan sebagainya.
4. Jangan
pernah merasa ditekan oleh orang tua. Berusahalah berpikir positif bahwa apa
yang dilakukan oleh orang tua itu adalah suatu yang terbaik dilakukan untuk
anaknya. Sebab orang tua mana yang menginginkan anaknya celaka atau terjerumus
ke jalan yang tidak baik.
5. Tidak
terlalu memaksakan kehendak, apalagi menuntut sehingga menyudutkan orang tua
dalam posisi yang sulit. Sebagai remaja kita harus memahami keadaan, kemampuan
orang tua kita sehingga dengan sikap kita tidak akan mempermalukan orang tua
kita di hadapan orang lain.
Jika dihubungan sikap yang perlu
diperhatikan dalam menyikapi orang tua yang berlaku otoriter tersebut bagi
remaja tunagrahita tidak lah mudah. Ketidak mudahan ini kebanyakan terletak
pada sisi remaja tunagrhatita itu sendiri sebab dalam kehidupanya kebanyakan
mereka masih sangat membutuhkan campur tangan orang tua. Berkenaan dengan sikap
tersebut maka penekanannya adalah pada pihak orng tua janganlah berlarut dengan
pemaksaan kehendak sehingga remaja runagrahita merasakan kegiatan yang
dilaluinya sebagai kegiatan yang tak bermanfaat. Ini berlaku karena remaja
tunagrahita kurang mampu memahami apa yang dipikirkan oleh orang lain, dan
kebiasaanya suka mengikuti apa yang dingini orang lain tanpa berana berbuat
banyak.
B.
Analisis
Berdasarkan pembahasan yang telah
dibicarakan didapat beberapa makna bahwa orang tua sangat mempengaruhi
perkembangan seorang remaja dan apalagi jika remaja tersebut menyandang
tunagrahita. Sikap orang tua yang otoriter akan melahirkan remaja tunagrahita
yang mempunyai sikap yang jauh berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Adapun
sikap-sikap remaja yang timbul merupakan akibat dari sikap orang tua otoriter
terhadap anak / remaja tunagrahita antara lain:
1. Remaja
cenderung mempunyai sikap selalu mengalah dan menerima setiap keputusan yang
menyangkut diri mereka peribadi. Kesan seperti ini adalah penurut namun dibalik
semua itu remaja tunagrahita merasakan tertekan oleh sikap otoriter yang
dilakukan orang tua.
2. Adanya
rasa dendam pada diri remaja tunagrahita karena mereka tidak pernah bisa
menyalurkan apa yang menjadi keinginannya. Hal ini akibat keterbatasan IQ
sehingga rasa dendam berobah menjadi penyerangan terhadap orang lain atau
menyakiti diri sendiri.
3. Remaja
tunagrahita akan memiliki rasa tidak mampu dalam mengerjakan segala sesuatu
atau dikatakan sebagai remaja yang tidak percaya dengan kemampuan sendiri.
4. Remaja
tunagrahita mempunyai sikap tidak bertanggung jawab karena mereka mereka selama
ini hanya memenuhi keinginan dari orang tua mereka.
5. Adanya
sikap sidak mempercayai orang lain diakibatkan karena mereka merasa semua orang
juga akan bersikap memaksakan kehendak seperti halnya orang tua mereka.
BAB III
KESIMPULAN
Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi keotoriteran dari orang tua adalah :
1. Jangan
sampai memaksakan kehendak terhadap anak atau remaja tunagrahita. Berikanlah
kebebasan kepada remaja untuk menentukan apa yang akan mereka perbuat dengan
catatan kebebasan yang kita berikan dapat dipertanggung jawabkan.
2. Bagi
remaja tunagrahita sebaiknya dilatih untuk belajar memahami isi pikiran orang
tuanya. Hilangkan berpikir negatif bahwa orang tua hanyalah merupakan
penghalang bagi semua aktivitas yang dilakukannya.
3. Hilangkan
perasaan tertekan atau terpaksa karena sikap orang tua yang bertentangan dengan
keinginan kita, dan berusahalah untuk membicarakan dengan baik-baik.
4. Kepada
orang tua diharapkan agar dapat saling memahami antara kinginan dan harapannya
sesuai dengan kemampuan remaja yang menyandang kelainan tunagrahita.
DAFTAR
PUSTAKA
Andi,
Mappiare. (1982) Psikologi Remaja. Usaha Nasional. Surabaya
Depdikbud.
(1994). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka
Elida
Prayitno. at.all. (1999). Perkembangan Peserta Didik. FIP UNP. Padang
________.
(1997). Psikologi Pendidikan. Padang. FIP IKIP
Gunarsa,
Singgih D. (1990) Psikologi Remaja. PT. BPK. Gunung Mulia. Jakarta.
Hardman,
L. Michael dkk. (1995). Human exceptionality. Third Edition. Allyn And Bacon.
Boston- London-Sydney-Toronto.
Kirk,
A. Samuel & James, J Gallagher. (1986). Exceptional Children. Alir bahasa.
Moh. Amin & Ina Yusuf K. (1990). DNIKS. Jakarta.
Lynch
James. (1994). Provision for Children with Special Educational Needs in the
Asia Region. The word Bank. Washington, D.C.
Lynch
Eleanor, W and Rena, B. Lewis. (1992). Exceptional Children And Adults. Scott.
Foresman and Company. Glenview. Illionis Boston London.
Moh,
Amin. (1995). Orthopedagogik Anak Tunagarahita. Depdikbud Dikti. Proyek
pendidikan Tenaga Guru. Jakarta
Soekanto,
soerjono. (1991) Mengenal dan Memahami Masalah Remaja. Pustaka Antara. Jakarta
Tambahkan tulisan 'link ke www.iaincirebon.ac.id'
BalasHapusSelamat....teruslah menulis. Tugas ini hanya sebagai pembuka. Semoga ke depan, tulisannya semakin baik
iya ibu,,terima kasih..hehehe
BalasHapus