Pages

Senin, 08 September 2014

nasehat ulama

Tidak Cukup Dengan Pengakuan Semata
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata:
Islam yang sahih pada masa sekarang ini adalah terasing. Adapun islam yang hanya sekedar pengakuan, maka lihatlah jumlah umat Islam sekarang ini. Jumlah mereka lebih dari 1 milyar. Meskipun demikian Islam yang sahih itu telah mengalami keterasingan.
Karena seandainya jumlah 1 milyar umat ini mereka berada di atas Islam yang sahih/jernih niscaya tidak ada seorang pun [umat manapun] di dunia ini yang berani menghadapi mereka!! Lihatlah, orang-orang Yahudi -yang mereka itu adalah saudara dari kera-kera dan babi-babi- suatu kaum yang telah ditimpakan kepada mereka kerendahan dan kehinaan [oleh Allah]. Bukankah saat ini mereka ‘menguasai’ berbagai negeri kaum muslimin.
Bandingkanlah dengan kaum muslimin yang bersama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat perang Badar. Ketika itu jumlah mereka hanya sekitar tiga ratus belasan orang. Saksikanlah apa yang berhasil mereka lakukan?
Para sahabat dibandingkan dengan seluruh penduduk bumi; berapa jumlah mereka? Meskipun demikian [yaitu mereka sedikit, pent], mereka berhasil menaklukkan berbagai kota dan negeri. Mereka pun berhasil menundukkan Kisra dan Kaisar.
Mereka sanggup untuk memimpin seluruh dunia. Hal itu dikarenakan mereka berada di atas Islam yang sahih/jernih dan lurus, bukan Islam yang berhenti pada pengakuan belaka.
[lihat Syarh Tafsir Kalimah at-Tauhid, hal. 32]
Tidak Boleh Meremehkan Tauhid
Dalam suatu kesempatan ceramah, Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah -salah seorang murid Syaikh al-Albani rahimahullah- menasehatkan kepada kita untuk selalu memperhatikan masalah tauhid dan tidak menyepelekannya.
Beliau berkata:
Masalah paling besar yang diperhatikan ulama salaf apa? Bukan amalan anggota badan, akan tetapi [amalan] hati dan ikhlas dalam beramal…
Oleh sebab itu, Yusuf bin al-Husain -salah seorang salaf- berkata, “Sesuatu yang paling sulit di dunia ini adalah ikhlas…Betapa sering aku berusaha menyingkirkan riya’ dari dalam hatiku, tetapi seolah-olah ia muncul kembali di dalamnya dengan warna yang berbeda.”
Demikianlah, ia mempermainkan hati, terkadang ia berpaling ke kanan atau ke kiri. Sehingga sulit menggapai keikhlasan.
Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi jiwa (nafsu) daripada ikhlas. Sebab di dalamnya hawa nafsu tidak mendapat jatah sedikitpun.” Senang dipuji, suka disanjung… Hawa nafsu memang menyimpan banyak keinginan (ambisi)…
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Syarat -memurnikan- niat itu sangatlah berat.” Semoga Allah merahmati beliau. Sufyan ats-Tsauri berkata, “Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih susah daripada niatku… Karena ia sering berbolak-balik.”
Oleh sebab itu semestinya bagi saudara-saudara kami, saya menasehati diri saya sendiri dan juga mereka untuk terus melazimi tauhid, bersemangat di dalamnya, dan terus-menerus berdoa kepada Allah agar mereka tetap istiqomah di atasnya. Hendaknya mereka memohon kepada Allah jalla wa ‘ala supaya Allah membantu mereka untuk bisa teguh di atas tauhid, dan memberikan taufik kepada mereka untuk itu… Masalah ini bukan masalah sepele, saudara-saudara sekalian… 
Beliau juga menjelaskan:
Manusia, bisa jadi mereka adalah orang yang tidak mengerti tauhid -secara global maupun terperinci- maka orang semacam ini jelas wajib untuk mempelajarinya… Atau bisa jadi mereka adalah orang yang mengerti tauhid secara global tapi tidak secara rinci… maka orang semacam ini wajib belajar rinciannya…
Atau bisa jadi mereka adalah orang yang telah mengetahui tauhid secara global dan terperinci… maka mereka pun tetap butuh untuk senantiasa diingatkan tentang tauhid…serta terus mempelajarinya dan tidak berhenti darinya… Jangan berdalih dengan perkataan, “Saya ‘kan sudah menyelesaikan Kitab Tauhid.” atau mengatakan, “Saya sudah menuntaskan pembahasan masalah tauhid.” atau berkata, “Isu seputar tauhid sudah habis. Sehingga kita pindah saja kepada isu yang lain.” Tidak demikian…
Sebab, tauhid tidaklah ditinggalkan menuju selainnya…tetapi tauhid harus senantiasa dibawa beserta yang lainnya. Kebutuhan kita terhadap tauhid lebih besar daripada kebutuhan kita terhadap air dan udara…
Beliau juga menegaskan:
Jadi, tauhid adalah misi dakwah seluruh rasul dan nabi. Ini adalah manhaj dakwah yang tidak berubah.. Dan kita pun tidak boleh merubahnya, dengan alasan apapun. Semisal, kita katakan, “Demi menyesuaikan dengan tuntutan zaman, dsb.” yang dengan alasan semacam itu kita merubah titik tolak dakwah dan mengganti manhaj dakwah.
Atau mengatakan bahwa semestinya sekarang dakwah kita mulai dengan masalah akhlak, atau sebaiknya kita mulai dengan masalah ini atau itu… Tidaklah demikian. Tidaklah kita memulai dakwah kecuali dengan apa yang dimulai oleh para rasul… Inilah dakwah para rasul dan para nabi yang semestinya kita -semua- menunaikan tugas [dakwah] ini dengan baik; yang seharusnya kita tetap hidup di atasnya dan mati di atasnya pula.
Baarakallahu fiikum.
[Sumber: Video al-I'tisham bi as-Sunnah, al-sunna.net]
Hati-Hati…
Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah berkata:
Syirik adalah perkara yang semestinya paling dikhawatirkan menimpa pada seorang hamba. Karena sebagian bentuk syirik itu adalah berupa amalan-amalan hati, yang tidak bisa diketahui oleh setiap orang. Tidak ada yang mengetahui secara persis akan hal itu kecuali Allah semata. Sebagian syirik itu muncul di dalam hati. Bisa berupa rasa takut, atau rasa harap. Atau berupa inabah/mengembalikan urusan kepada selain Allah jalla wa ‘ala. Atau terkadang berupa tawakal kepada selain Allah. Atau mungkin dalam bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah. Atau karena amal-amal yang dilakukannya termasuk dalam kemunafikan atau riya’. Ini semuanya tidak bisa diketahui secara persis kecuali oleh Allah semata. Oleh sebab itu rasa takut terhadapnya harus lebih besar daripada dosa-dosa yang lainnya… [lihat Transkrip ceramah Syarh al-Qawa'id al-Arba' 1425 H oleh beliau, hal. 6] 
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya pun menjadi terhapus.” [lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 584]

Nasihat Para Ulama
Oleh sebab itu, selayaknya kita simak nasihat para ulama berikut ini. Mudah-mudahan bisa menjadi panduan bagi kita dalam berdakwah.
Ahli fikih masa kini, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “.. Sesungguhnya perkara yang paling banyak merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud ‘di atas bashirah’ itu bukan ilmu syari’at saja. Akan tetapi mencakup ilmu mengenai syari’at, ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk mencapai tujuan dakwahnya; itulah yang dikenal dengan istilah hikmah.” [lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/82]]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seandainya seorang yang menyampaikan kebenaran memiliki niat untuk mendapatkan ketinggian di muka bumi (kedudukan) atau untuk menimbulkan kerusakan, maka kedudukan orang itu seperti halnya orang yang berperang karena fanatisme dan riya’. Namun, apabila dia berbicara karena Allah; ikhlas demi menjalankan [ajaran] agama untuk-Nya semata, maka dia termasuk golongan orang yang berjihad di jalan Allah, termasuk jajaran pewaris para nabi dan khalifah para rasul.” [lihat Dhawabith wa Fiqh Da'wah 'inda Syaikhil Islam, hal. 109]
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Mushin al-Badr hafizhahullah berkata, “Adapun orang yang berdakwah tanpa bashirah/ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” [lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 111]
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Ilmu -dalam dakwah, pent- adalah sebuah kewajiban. Jangan sampai anda berdakwah di atas kebodohan. Jangan sampai anda berbicara dalam hal-hal yang anda tidak ketahui ilmunya. Orang yang bodoh akan menghancurkan, bukan membangun. Dia akan merusak, dan bukannya memperbaiki. Maka bertakwalah kepada Allah, wahai hamba Allah! Waspadalah anda dari berbicara tentang [agama] Allah tanpa ilmu. Jangan anda mendakwahkan sesuatu kecuali setelah mengetahui ilmu tentangnya…” [lihat Ma'alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 9]
Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya ilmu bukanlah semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan Sunnah/ajaran Nabi, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” [lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 163]
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Sesungguhnya kami ini hanyalah meneladani, bukan memulai. Kami sekedar mengikuti, dan bukan mengada-adakan sesuatu yang baru. Kami tidak akan tersesat selama kami tetap berpegang teguh dengan atsar.” [lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 46]
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Hendaknya kamu tetap berpegang dengan atsar dan jalan kaum salaf, dan jauhilah olehmu segala ajaran yang diada-adakan, karena itu adalah bid’ah.” [lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba' as-Salaf al-Kiram, hal. 46]
Imam Abul Qasim at-Taimi rahimahullah berkata, “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah komitmen mereka untuk ittiba’ kepada salafus shalih dan meninggalkan segala ajaran yang bid’ah dan diada-adakan.” [lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba' as-Salaf al-Kiram, hal. 49]
Imam al-Ashbahani rahimahullah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya pemisah antara kita dengan ahli bid’ah adalah dalam masalah akal. Karena sesungguhnya mereka membangun agamanya di atas pemikiran akal semata, dan mereka menjadikan ittiba’ dan atsar harus mengikuti hasil pemikiran mereka. Adapun Ahlus Sunnah, maka mereka mengatakan : pondasi agama adalah ittiba’ sedangkan pemikiran itu mengikutinya. Sebab seandainya asas agama itu adalah pemikiran niscaya umat manusia tidak perlu bimbingan wahyu, tidak butuh kepada para nabi. Kalau memang seperti itu niscaya sia-sialah makna perintah dan larangan. Setiap orang pun akan berbicara dengan seenaknya. Dan kalau seandainya agama itu dibangun di atas hasil pemikiran niscaya diperbolehkan bagi orang-orang beriman untuk tidak menerima ajaran apapun kecuali apabila pemikiran (logika) mereka telah bisa menerimanya.” [lihat Da'a'im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 336]
Imam ad-Darimi meriwayatkan dalam Sunannya, demikian juga al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, dari az-Zuhri rahimahullah, bahwa beliau berkata, “Para ulama kami dahulu senantiasa mengatakan, “Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan.”.” [lihat Da'a'im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 340].
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: Sungguh membuatku kagum ucapan salah seorang penggerak ishlah/perbaikan pada masa kini. Beliau mengatakan: “Tegakkanlah daulah/pemerintahan Islam di dalam hati kalian, niscaya ia akan tegak di atas bumi kalian.” [lihat Ma'alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, hal. 24]
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga memberikan keterangan berharga :
Tidaklah terjadi perselisihan dan perpecahan kecuali disebabkan oleh sikap tidak berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal itu sebagaimana perpecahan yang terjadi pada ahli kitab. Padahal Allah telah menurunkan kepada mereka Taurat dan Injil. Namun, tatkala mereka tidak berpegang teguh dengan ‘tali Allah’, mereka pun berpecah belah dan berselisih.
[lihat Syarh al-Manzhumah al-Haa'iyyah, hal. 48]
Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya, “Apa hukum menggunakan tanzhim (pengaturan/sistem keorganisasian, pent) dalam hal dakwah ila Allah ‘azza wa jalla?” Beliau menjawab, “Tanzhim yang tidak menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah adalah perkara yang dituntut (oleh syari’at, pent), dan memang tanzhim sangat diperlukan. Akan tetapi yang disayangkan adalah ada sebagian orang yang menyalahgunakan tanzhim demi kepentingan hizbiyah (fanatisme kelompok, pent). Adapun tanzhim yang sesuai dengan batasan-batasan al-Kitab dan as-Sunnah adalah sesuatu yang memang dibutuhkan.” [lihat Majmu' Fatawa al-Wadi'i Jilid 1 Halaman 75]
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menjadikan seseorang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dia jadikan satu-satunya pedoman; sehingga barangsiapa yang mencintainya maka itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah -menurutnya- dan barangsiapa yang menyelisihinya adalah ahli bid’ah dan pemecah belah -sebagaimana hal itu bisa ditemui pada para pengikuti imam ahlul kalam dalam urusan agama ini ataupun selainnya- maka sesungguhnya dia adalah seorang ahli bid’ah, penyebar kesesatan dan pemecah belah.” [lihat Ma'alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 19]
Menjauhi Perilaku Ekstrim
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya: “Sebagian pemuda memiliki semangat yang berlebihan daripada yang semestinya dan menempuh jalan/pemahaman ke arah sikap ekstrim. Apa nasehat anda untuknya?”
Maka beliau menjawab:
Wajib bagi para pemuda maupun selain mereka untuk waspada dari perbuatan yang mengarah kepada kekerasan, melampaui batas, dan sikap ekstrim. Karena firman Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan (yang artinya), “Wahai ahli kitab, janganlah kalian bersikap ghuluw/melampaui batas dalam agama kalian.” (QS. An-Nisaa': 171).
Dan juga berdasarkan firman-Nya ‘azza wa jalla (yang artinya), “Maka disebabkan rahmat dari Allah pula kamu bersikap lembut kepada mereka; sebab seandainya kamu berhati keras dan kasar niscaya mereka akan bubar dan menjauhi darimu.” (QS. Ali ‘Imran: 159)
Selain itu, terdapat firman Allah ‘azza wa jalla kepada Musa dan Harun, tatkala mereka berdua diutus oleh-Nya untuk menemui Fir’aun. Allah berfirman (yang artinya), “Maka katakanlah oleh kalian berdua kepadanya dengan ucapan yang lembut; mudah-mudahan dia mau ingat atau merasa takut.” (QS. Thaha: 144).
Demikian pula, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Celakalah orang-orang yang suka melampaui batas.” Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali (HR. Muslim)
Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jauhilah oleh kalian sikap ekstrim dalam beragama. Karena sesungguhnya penyebab kebinasaan umat-umat sebelum kalian adalah sikap ekstrim dalam beragama.” (HR. Ahmad dan sebagian penyusun kitab Sunan dengan sanad hasan)
Oleh sebab itu, aku berpesan kepada segenap da’i agar mereka tidak terjerumus dalam sikap berlebih-lebihan dan perilaku ghuluw (ekstrim). Karena yang wajib mereka tempuh adalah sikap moderat/pertengahan. Yaitu dengan cara meniti jalan/manhaj yang telah digariskan oleh Allah; berdasarkan hukum Kitab-Nya dan ajaran Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. [lihat Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah Juz 5]

Sumber: http://ibnbaz.org/mat/1788
http://pemudamuslim.com/manhaj/nasihat-para-pembesar-kepada-pengikut/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari