Tidak Cukup Dengan Pengakuan Semata
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata:
Islam yang sahih pada masa sekarang
ini adalah terasing. Adapun islam yang hanya sekedar pengakuan, maka
lihatlah jumlah umat Islam sekarang ini. Jumlah mereka lebih dari 1
milyar. Meskipun demikian Islam yang sahih itu telah mengalami
keterasingan.
Karena seandainya jumlah 1 milyar
umat ini mereka berada di atas Islam yang sahih/jernih niscaya tidak ada
seorang pun [umat manapun] di dunia ini yang berani menghadapi mereka!!
Lihatlah, orang-orang Yahudi -yang mereka itu adalah saudara dari
kera-kera dan babi-babi- suatu kaum yang telah ditimpakan kepada mereka
kerendahan dan kehinaan [oleh Allah]. Bukankah saat ini mereka
‘menguasai’ berbagai negeri kaum muslimin.
Bandingkanlah dengan kaum muslimin yang bersama dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada saat perang Badar. Ketika itu jumlah mereka hanya sekitar tiga
ratus belasan orang. Saksikanlah apa yang berhasil mereka lakukan?
Para sahabat dibandingkan dengan
seluruh penduduk bumi; berapa jumlah mereka? Meskipun demikian [yaitu
mereka sedikit, pent], mereka berhasil menaklukkan berbagai kota dan
negeri. Mereka pun berhasil menundukkan Kisra dan Kaisar.
Mereka sanggup untuk memimpin
seluruh dunia. Hal itu dikarenakan mereka berada di atas Islam yang
sahih/jernih dan lurus, bukan Islam yang berhenti pada pengakuan belaka.
[lihat Syarh Tafsir Kalimah at-Tauhid, hal. 32]
Tidak Boleh Meremehkan Tauhid
Dalam suatu kesempatan ceramah, Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah -salah seorang murid Syaikh al-Albani rahimahullah- menasehatkan kepada kita untuk selalu memperhatikan masalah tauhid dan tidak menyepelekannya.
Beliau berkata:
Masalah paling besar yang
diperhatikan ulama salaf apa? Bukan amalan anggota badan, akan tetapi
[amalan] hati dan ikhlas dalam beramal…
Oleh sebab itu, Yusuf bin al-Husain
-salah seorang salaf- berkata, “Sesuatu yang paling sulit di dunia ini
adalah ikhlas…Betapa sering aku berusaha menyingkirkan riya’ dari dalam
hatiku, tetapi seolah-olah ia muncul kembali di dalamnya dengan warna
yang berbeda.”
Demikianlah, ia mempermainkan hati, terkadang ia berpaling ke kanan atau ke kiri. Sehingga sulit menggapai keikhlasan.
Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak
ada sesuatu yang lebih berat bagi jiwa (nafsu) daripada ikhlas. Sebab di
dalamnya hawa nafsu tidak mendapat jatah sedikitpun.” Senang dipuji,
suka disanjung… Hawa nafsu memang menyimpan banyak keinginan (ambisi)…
Imam Ahmad rahimahullah
berkata, “Syarat -memurnikan- niat itu sangatlah berat.” Semoga Allah
merahmati beliau. Sufyan ats-Tsauri berkata, “Tidaklah aku menyembuhkan
sesuatu yang lebih susah daripada niatku… Karena ia sering
berbolak-balik.”
Oleh sebab itu semestinya bagi
saudara-saudara kami, saya menasehati diri saya sendiri dan juga mereka
untuk terus melazimi tauhid, bersemangat di dalamnya, dan terus-menerus
berdoa kepada Allah agar mereka tetap istiqomah di atasnya. Hendaknya
mereka memohon kepada Allah jalla wa ‘ala
supaya Allah membantu mereka untuk bisa teguh di atas tauhid, dan
memberikan taufik kepada mereka untuk itu… Masalah ini bukan masalah
sepele, saudara-saudara sekalian…
Beliau juga menjelaskan:
Manusia, bisa jadi mereka adalah
orang yang tidak mengerti tauhid -secara global maupun terperinci- maka
orang semacam ini jelas wajib untuk mempelajarinya… Atau bisa jadi
mereka adalah orang yang mengerti tauhid secara global tapi tidak secara
rinci… maka orang semacam ini wajib belajar rinciannya…
Atau bisa jadi mereka adalah orang
yang telah mengetahui tauhid secara global dan terperinci… maka mereka
pun tetap butuh untuk senantiasa diingatkan tentang tauhid…serta terus
mempelajarinya dan tidak berhenti darinya… Jangan berdalih dengan
perkataan, “Saya ‘kan sudah menyelesaikan Kitab Tauhid.” atau
mengatakan, “Saya sudah menuntaskan pembahasan masalah tauhid.” atau
berkata, “Isu seputar tauhid sudah habis. Sehingga kita pindah saja
kepada isu yang lain.” Tidak demikian…
Sebab, tauhid tidaklah ditinggalkan
menuju selainnya…tetapi tauhid harus senantiasa dibawa beserta yang
lainnya. Kebutuhan kita terhadap tauhid lebih besar daripada kebutuhan
kita terhadap air dan udara…
Beliau juga menegaskan:
Jadi, tauhid adalah misi dakwah
seluruh rasul dan nabi. Ini adalah manhaj dakwah yang tidak berubah..
Dan kita pun tidak boleh merubahnya, dengan alasan apapun. Semisal, kita
katakan, “Demi menyesuaikan dengan tuntutan zaman, dsb.” yang dengan
alasan semacam itu kita merubah titik tolak dakwah dan mengganti manhaj
dakwah.
Atau mengatakan bahwa semestinya
sekarang dakwah kita mulai dengan masalah akhlak, atau sebaiknya kita
mulai dengan masalah ini atau itu… Tidaklah demikian. Tidaklah kita
memulai dakwah kecuali dengan apa yang dimulai oleh para rasul… Inilah
dakwah para rasul dan para nabi yang semestinya kita -semua- menunaikan
tugas [dakwah] ini dengan baik; yang seharusnya kita tetap hidup di
atasnya dan mati di atasnya pula.
Baarakallahu fiikum.
[Sumber: Video al-I'tisham bi as-Sunnah, al-sunna.net]
Hati-Hati…
Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah berkata:
Syirik adalah perkara yang
semestinya paling dikhawatirkan menimpa pada seorang hamba. Karena
sebagian bentuk syirik itu adalah berupa amalan-amalan hati, yang tidak
bisa diketahui oleh setiap orang. Tidak ada yang mengetahui secara
persis akan hal itu kecuali Allah semata. Sebagian syirik itu muncul di
dalam hati. Bisa berupa rasa takut, atau rasa harap. Atau berupa
inabah/mengembalikan urusan kepada selain Allah jalla wa ‘ala.
Atau terkadang berupa tawakal kepada selain Allah. Atau mungkin dalam
bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah. Atau karena amal-amal
yang dilakukannya termasuk dalam kemunafikan atau riya’. Ini semuanya
tidak bisa diketahui secara persis kecuali oleh Allah semata. Oleh sebab
itu rasa takut terhadapnya harus lebih besar daripada dosa-dosa yang
lainnya… [lihat Transkrip ceramah Syarh al-Qawa'id al-Arba' 1425 H oleh beliau, hal. 6]
Imam Nawawi rahimahullah
berkata, “Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali terserang oleh
penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya
terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka
amalnya pun menjadi terhapus.” [lihat Ta'thir al-Anfas, hal. 584]
Nasihat Para Ulama
Oleh sebab itu, selayaknya kita
simak nasihat para ulama berikut ini. Mudah-mudahan bisa menjadi panduan
bagi kita dalam berdakwah.
Ahli fikih masa kini, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata, “.. Sesungguhnya perkara yang paling banyak merusak dakwah
adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud ‘di atas
bashirah’ itu bukan ilmu syari’at saja. Akan tetapi mencakup ilmu
mengenai syari’at, ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu
tentang cara untuk mencapai tujuan dakwahnya; itulah yang dikenal dengan
istilah hikmah.” [lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/82]]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Seandainya seorang yang menyampaikan kebenaran memiliki niat
untuk mendapatkan ketinggian di muka bumi (kedudukan) atau untuk
menimbulkan kerusakan, maka kedudukan orang itu seperti halnya orang
yang berperang karena fanatisme dan riya’. Namun, apabila dia berbicara
karena Allah; ikhlas demi menjalankan [ajaran] agama untuk-Nya semata,
maka dia termasuk golongan orang yang berjihad di jalan Allah, termasuk
jajaran pewaris para nabi dan khalifah para rasul.” [lihat Dhawabith wa Fiqh Da'wah 'inda Syaikhil Islam, hal. 109]
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Mushin al-Badr hafizhahullah
berkata, “Adapun orang yang berdakwah tanpa bashirah/ilmu, maka apa
yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” [lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 111]
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah
berkata, “Ilmu -dalam dakwah, pent- adalah sebuah kewajiban. Jangan
sampai anda berdakwah di atas kebodohan. Jangan sampai anda berbicara
dalam hal-hal yang anda tidak ketahui ilmunya. Orang yang bodoh akan
menghancurkan, bukan membangun. Dia akan merusak, dan bukannya
memperbaiki. Maka bertakwalah kepada Allah, wahai hamba Allah!
Waspadalah anda dari berbicara tentang [agama] Allah tanpa ilmu. Jangan
anda mendakwahkan sesuatu kecuali setelah mengetahui ilmu tentangnya…”
[lihat Ma'alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 9]
Imam al-Barbahari rahimahullah
berkata, “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya ilmu
bukanlah semata-mata dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya
orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan Sunnah/ajaran Nabi,
meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi
al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia adalah penganut bid’ah, meskipun ilmu
dan kitabnya banyak.” [lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 163]
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu
berkata, “Sesungguhnya kami ini hanyalah meneladani, bukan memulai.
Kami sekedar mengikuti, dan bukan mengada-adakan sesuatu yang baru. Kami
tidak akan tersesat selama kami tetap berpegang teguh dengan atsar.”
[lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 46]
Imam Abu Hanifah rahimahullah
berkata, “Hendaknya kamu tetap berpegang dengan atsar dan jalan kaum
salaf, dan jauhilah olehmu segala ajaran yang diada-adakan, karena itu
adalah bid’ah.” [lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba' as-Salaf al-Kiram, hal. 46]
Imam Abul Qasim at-Taimi rahimahullah
berkata, “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah komitmen mereka untuk ittiba’
kepada salafus shalih dan meninggalkan segala ajaran yang bid’ah dan
diada-adakan.” [lihat Fashlu al-Maqal fi Wujub Ittiba' as-Salaf al-Kiram, hal. 49]
Imam al-Ashbahani rahimahullah
berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya pemisah antara kita dengan ahli
bid’ah adalah dalam masalah akal. Karena sesungguhnya mereka membangun
agamanya di atas pemikiran akal semata, dan mereka menjadikan ittiba’
dan atsar harus mengikuti hasil pemikiran mereka. Adapun Ahlus Sunnah,
maka mereka mengatakan : pondasi agama adalah ittiba’ sedangkan
pemikiran itu mengikutinya. Sebab seandainya asas agama itu adalah
pemikiran niscaya umat manusia tidak perlu bimbingan wahyu, tidak butuh
kepada para nabi. Kalau memang seperti itu niscaya sia-sialah makna
perintah dan larangan. Setiap orang pun akan berbicara dengan seenaknya.
Dan kalau seandainya agama itu dibangun di atas hasil pemikiran niscaya
diperbolehkan bagi orang-orang beriman untuk tidak menerima ajaran
apapun kecuali apabila pemikiran (logika) mereka telah bisa
menerimanya.” [lihat Da'a'im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 336]
Imam ad-Darimi meriwayatkan dalam Sunannya, demikian juga al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, dari az-Zuhri rahimahullah,
bahwa beliau berkata, “Para ulama kami dahulu senantiasa mengatakan,
“Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan.”.” [lihat Da'a'im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 340].
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: Sungguh membuatku kagum ucapan salah seorang penggerak ishlah/perbaikan
pada masa kini. Beliau mengatakan: “Tegakkanlah daulah/pemerintahan
Islam di dalam hati kalian, niscaya ia akan tegak di atas bumi kalian.”
[lihat Ma'alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, hal. 24]
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga memberikan keterangan berharga :
Tidaklah terjadi perselisihan dan
perpecahan kecuali disebabkan oleh sikap tidak berpegang teguh dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal itu sebagaimana perpecahan yang terjadi pada ahli kitab. Padahal
Allah telah menurunkan kepada mereka Taurat dan Injil. Namun, tatkala
mereka tidak berpegang teguh dengan ‘tali Allah’, mereka pun berpecah
belah dan berselisih.
[lihat Syarh al-Manzhumah al-Haa'iyyah, hal. 48]
Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya, “Apa hukum menggunakan tanzhim (pengaturan/sistem keorganisasian, pent) dalam hal dakwah ila Allah ‘azza wa jalla?” Beliau menjawab, “Tanzhim yang tidak menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah adalah perkara yang dituntut (oleh syari’at, pent), dan memang tanzhim sangat diperlukan. Akan tetapi yang disayangkan adalah ada sebagian orang yang menyalahgunakan tanzhim demi kepentingan hizbiyah (fanatisme kelompok, pent). Adapun tanzhim yang sesuai dengan batasan-batasan al-Kitab dan as-Sunnah adalah sesuatu yang memang dibutuhkan.” [lihat Majmu' Fatawa al-Wadi'i Jilid 1 Halaman 75]
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menjadikan seseorang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk dia jadikan satu-satunya pedoman; sehingga barangsiapa yang
mencintainya maka itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah -menurutnya- dan
barangsiapa yang menyelisihinya adalah ahli bid’ah dan pemecah belah
-sebagaimana hal itu bisa ditemui pada para pengikuti imam ahlul kalam
dalam urusan agama ini ataupun selainnya- maka sesungguhnya dia adalah
seorang ahli bid’ah, penyebar kesesatan dan pemecah belah.” [lihat Ma'alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 19]
Menjauhi Perilaku Ekstrim
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah
pernah ditanya: “Sebagian pemuda memiliki semangat yang berlebihan
daripada yang semestinya dan menempuh jalan/pemahaman ke arah sikap
ekstrim. Apa nasehat anda untuknya?”
Maka beliau menjawab:
Wajib bagi para pemuda maupun
selain mereka untuk waspada dari perbuatan yang mengarah kepada
kekerasan, melampaui batas, dan sikap ekstrim. Karena firman Allah subhanahu wa ta’ala
menegaskan (yang artinya), “Wahai ahli kitab, janganlah kalian bersikap
ghuluw/melampaui batas dalam agama kalian.” (QS. An-Nisaa': 171).
Dan juga berdasarkan firman-Nya ‘azza wa jalla
(yang artinya), “Maka disebabkan rahmat dari Allah pula kamu bersikap
lembut kepada mereka; sebab seandainya kamu berhati keras dan kasar
niscaya mereka akan bubar dan menjauhi darimu.” (QS. Ali ‘Imran: 159)
Selain itu, terdapat firman Allah ‘azza wa jalla
kepada Musa dan Harun, tatkala mereka berdua diutus oleh-Nya untuk
menemui Fir’aun. Allah berfirman (yang artinya), “Maka katakanlah oleh
kalian berdua kepadanya dengan ucapan yang lembut; mudah-mudahan dia mau
ingat atau merasa takut.” (QS. Thaha: 144).
Demikian pula, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Celakalah orang-orang yang suka melampaui batas.” Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali (HR. Muslim)
Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jauhilah oleh kalian sikap ekstrim dalam beragama. Karena sesungguhnya
penyebab kebinasaan umat-umat sebelum kalian adalah sikap ekstrim dalam
beragama.” (HR. Ahmad dan sebagian penyusun kitab Sunan dengan sanad
hasan)
Oleh sebab itu, aku berpesan kepada
segenap da’i agar mereka tidak terjerumus dalam sikap berlebih-lebihan
dan perilaku ghuluw (ekstrim). Karena yang wajib mereka tempuh adalah
sikap moderat/pertengahan. Yaitu dengan cara meniti jalan/manhaj yang
telah digariskan oleh Allah; berdasarkan hukum Kitab-Nya dan ajaran
Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. [lihat Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah Juz 5]
Sumber: http://ibnbaz.org/mat/1788
http://pemudamuslim.com/manhaj/nasihat-para-pembesar-kepada-pengikut/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar