[1] Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bukanlah letak
kebaikan seorang insan itu ketika dia telah mengetahui kebenaran tanpa
dibarengi kecintaan kepadanya, keinginan, dan kesetiaan untuk
mengikutinya. Sebagaimana kebahagiaannya tidaklah terletak pada keadaan
dirinya yang telah mengenal Allah dan mengakui apa-apa yang menjadi
hak-Nya [ibadah] apabila dia tidak mencintai Allah, beribadah, dan taat
kepada-Nya. Bahkan, orang yang paling keras siksanya pada hari kiamat
kelak adalah orang yang berilmu namun tidak beramal dengannya. Dan telah
dimaklumi bahwa hakikat iman adalah pengakuan/ikrar, bukan semata-mata
pembenaran/tashdiq. Di dalam ikrar/pengakuan itu telah terkandung;
ucapan hati [qaul qalbi] yaitu adalah berupa tashdiq/pembenaran, dan
juga amalan hati ['amalul qalbi] yaitu berupa inqiyad/kepatuhan.” (lihat
Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, oleh Syaikh Shalih Ahmad asy-Syami, hal. 92)
[2] Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Risalah adalah
kebutuhan yang sangat mendesak bagi hamba. Mereka benar-benar
membutuhkannya. Kebutuhan mereka terhadapnya jauh di atas segala jenis
kebutuhan. Risalah adalah ruh, cahaya, dan kehidupan alam semesta. Maka
kebaikan seperti apa yang ada pada alam tanpa ruh, tanpa cahaya, dan
tanpa kehidupan?” (lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wa al-Jama’ah, hal. 78 karya Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani)
[3] Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
mencintai orang lain bukan karena Allah niscaya bahaya yang muncul dari
teman-temannya jauh lebih besar daripada bahaya yang timbul dari
musuh-musuhnya.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 575)
[4] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Banyak
orang yang mengidap riya’ dan ujub. Riya’ itu termasuk dalam perbuatan
mempersekutukan Allah dengan makhluk. Adapun ujub merupakan bentuk
mempersekutukan Allah dengan diri sendiri, dan inilah kondisi orang yang
sombong. Seorang yang riya’ berarti tidak melaksanakan kandungan ayat
Iyyaka na’budu. Adapun orang yang ujub maka dia tidak mewujudkan
kandungan ayat Iyyaka nasta’in. Barangsiapa yang mewujudkan maksud ayat
Iyyaka na’budu maka dia terbebas dari riya’. Dan barangsiapa yang
berhasil mewujudkan maksud ayat Iyyaka nasta’in maka dia akan terbebas
dari ujub. Di dalam sebuah hadits yang terkenal disebutkan, “Ada tiga
perkara yang membinasakan; sikap pelit yang ditaati, hawa nafsu yang
selalu diperturutkan, dan sikap ujub seseorang terhadap dirinya
sendiri.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 83 cet. al-Maktab al-Islami)
[5] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Bersabar dalam menghadapi ketidakadilan penguasa adalah salah satu
prinsip pokok yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 280)
[6] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Kedudukan dan kekuasaan tidak bisa mengubah orang yang bukan alim
mujtahid menjadi seorang alim mujtahid. Seandainya hak berbicara tentang
urusan ilmu dan agama diperoleh dengan sebab kekuasaan dan kedudukan
niscaya khalifah dan raja adalah orang yang paling berhak berbicara
tentang ilmu dan agama. Sehingga orang-orang merujuk kepadanya dalam
mencari solusi bagi masalah ilmu maupun agama yang mereka hadapi.
Apabila ternyata khalifah dan raja tidak mendakwakan hal itu ada pada
dirinya, demikian juga rakyat tidak wajib menerima pendapatnya tanpa
melihat pendapat yang lain, kecuali apabila selaras dengan Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, orang-orang yang lebih rendah kedudukannya daripada raja lebih pantas untuk tidak melampaui kapasitas dirinya…” (lihat Qawa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 28)
[7] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Zuhud
yang disyari’atkan itu adalah; dengan meninggalkan perkara-perkara yang
tidak mendatangkan manfaat kelak di negeri akhirat dan kepercayaan yang
kuat tertanam di dalam hati mengenai balasan dan keutamaan yang ada di
sisi Allah… Adapun secara lahiriyah, segala hal yang digunakan oleh
seorang hamba untuk menjalankan ketaatan kepada Allah, maka meninggalkan
itu semua bukan termasuk zuhud yang disyari’atkan. Akan tetapi yang
dimaksud zuhud adalah meninggalkan sikap berlebihan dalam
perkara-perkara yang menyibukkan sehingga melalaikan dari ketaatan
kepada Allah dan rasul-Nya, berupa makanan, pakaian, harta, dan lain
sebagainya…” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimyah, hal. 69-70)
[8] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Seandainya seorang yang menyampaikan kebenaran memiliki niat untuk
mendapatkan ketinggian di muka bumi (kedudukan) atau untuk menimbulkan
kerusakan, maka kedudukan orang itu seperti halnya orang yang berperang
karena fanatisme dan riya’. Namun, apabila dia berbicara karena Allah;
ikhlas demi menjalankan [ajaran] agama untuk-Nya semata, maka dia
termasuk golongan orang yang berjihad di jalan Allah, termasuk jajaran
pewaris para nabi dan khalifah para rasul.” (lihat Dhawabith wa Fiqh Da’wah ‘inda Syaikhil Islam, hal. 109)
[9] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kata
al-Haya’ [rasa malu] berasal dari kata al-Hayat [kehidupan] sebab hati
yang hidup akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sejati. Di
dalam dirinya terdapat rasa malu yang akan menghalanginya dari berbagai
keburukan. Karena sesungguhnya kehidupan hati itu adalah sesuatu yang
bisa mencegah dirinya dari melakukan berbagai hal yang jelek dan merusak
hati.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 30)
[10] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Letak
niat adalah di dalam hati dengan kesepakatan para ulama. Apabila
seseorang telah berniat dengan hatinya dan tidak mengucapkan hal itu
dengan lisannya, maka niat itu sudah dianggap sah/cukup berdasarkan
kesepakatan mereka. Karena sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
para sahabatnya, dan para tabi’in; tidaklah dinukil dari seorang pun
diantara mereka bahwa mereka melafalkan niat, tidak dalam hal sholat,
thaharah, maupun puasa.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 36)
[11] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Seorang hamba senantiasa berada diantara kenikmatan dari Allah yang
mengharuskan syukur atau dosa yang mengharuskan istighfar. Kedua hal ini
adalah perkara yang selalu dialami setiap hamba. Sebab dia senantiasa
berada di dalam curahan nikmat dan karunia Allah dan senantiasa
membutuhkan taubat dan istighfar.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 87)
[12] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Orang-orang Yahudi berkata bahwa tidak boleh kekuasaan itu dipegang
oleh selain keturunan Dawud. Demikian pula, kaum Rafidhah/Syi’ah. Mereka
mengatakan bahwa tidak boleh imamah/kepemimpinan umat ini dipegang oleh
selain keturunan Ali. Orang Yahudi berkata bahwa tidak ada jihad fi
sabilillah kecuali setelah keluarnya al-Masih ad-Dajjal dan diturunkan
pedang. Kaum Rafidhah pun mengatakan bahwa tidak ada jihad fi sabilillah
kecuali setelah keluarnya Imam Mahdi dan terdengar seruan dari langit.
Orang-orang Yahudi mengakhirkan sholat hingga bintang-bintang tampak.
Maka begitu pula Rafidhah. Mereka mengakhirkan sholat Maghrib hingga
bintang-bintang tampak. Padahal di dalam hadits ditegaskan, “Umatku akan
senantiasa berada di atas fithrah selama mereka tidak mengakhirkan
sholat Maghrib hingga tampaknya bintang-bintang.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
Ibnu Majah, di dalam Zawa’id disebutkan bahwa sanadnya hasan).
Orang-orang Yahudi menyelewengkan ayat-ayat Taurat. Begitu pula kaum
Rafidhah menyelewengkan ayat-ayat al-Qur’an. Yahudi memandang tidak
dituntunkan mengusap khuf. Begitu pula Rafidhah memandang hal itu tidak
diajarkan. Orang Yahudi membenci Jibril, mereka mengatakan, “Jibril
adalah musuh kami dari kalangan malaikat.” Begitu pula Rafidhah, mereka
mengatakan, “Jibril salah menyampaikan wahyu kepada Muhammad.” (lihat Min ‘Aqa’id asy-Syi’ah, hal. 23-24)
[13] Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menjadikan seseorang selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk dia jadikan satu-satunya pedoman; sehingga barangsiapa yang
mencintainya maka itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah -menurutnya- dan
barangsiapa yang menyelisihinya adalah ahli bid’ah dan pemecah belah
-sebagaimana hal itu bisa ditemui pada para pengikuti imam ahlul kalam
dalam urusan agama ini ataupun selainnya- maka sesungguhnya dia adalah
seorang ahli bid’ah, penyebar kesesatan dan pemecah belah.” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 19)
[14] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ibadah
merupakan sebuah istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan
diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan, yang batin maupun lahir.
Ini artinya sholat, zakat, puasa, haji, jujur dalam berbicara,
menunaikan amanat, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali
kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang yang
mungkar, berjihad memerangi orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada
tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, maupun kepemilikan dari
kalangan manusia (budak) atau binatang piaraan, berdoa, berdzikir,
membaca al-Qur’an, dan lain sebagainya itu semua adalah ibadah. Demikian
juga kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya, rasa takut kepada Allah,
inabah kepada-Nya, mengikhlaskan agama untuk-Nya, bersabar menghadapi
ketetapan-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, ridha dengan takdir-Nya,
bertawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, takut kepada azab-Nya,
dan semisalnya [itu semua juga] termasuk ibadah kepada Allah.” (lihat al-‘Ubudiyah, hal. 6 cet. Maktabah al-Balagh)
[15] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Simpul pokok ajaran agama ada dua: yaitu kita tidak beribadah kecuali
hanya kepada Allah, dan kita beribadah kepada-Nya hanya dengan
syari’at-Nya. Kita tidak beribadah kepada-Nya dengan bid’ah-bid’ah. Hal
itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Maka
barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia
melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam
beribadah kepada Rabbnya.” (QS. al-Kahfi: 110).” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 87)
[16] Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah
hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah,
bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah
sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah
kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan
kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam. Oleh
sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan
ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada
selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah menerima
dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain
agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya),
“Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan
diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan
orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85). Ini semua menegaskan
kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah
perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya
amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 30)
[17] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Allah Yang Maha Suci telah mengaruniakan dua hal yang agung kepada bani
Adam. Kedua hal itu merupakan pokok kebahagiaan. Pertama; Setiap bayi
yang terlahir berada di atas fitrah (tauhid). Setiap jiwa apabila
dibiarkan begitu saja niscaya akan mengakui bahwasanya Allah adalah
ilah/sesembahan baginya. Ia akan mencintai dan akan menyembah-Nya tanpa
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Akan tetapi adanya bisikan
setan dari kalangan jin dan manusia itulah yang menyebabkan kebatilan
seolah menjadi sesuatu yang tampak indah dan menawan. Kedua; Allah ta’ala
telah memberikan petunjuk kepada umat manusia dengan bimbingan yang
bersifat umum. Sehingga di dalam diri mereka secara fitrah telah
terpatri pengenalan -kepada kebenaran- dan sebab-sebab guna meraih ilmu.
Setelah itu, Allah pun menurunkan kitab-kitab suci dan mengutus para
rasul sebagai pembimbing bagi mereka.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 35)
[18] Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bukanlah yang
dimaksud dengan tauhid itu sekedar tauhid rububiyah yaitu keyakinan
bahwa Allah semata yang menciptakan alam sebagaimana yang disangka oleh
sebagian orang dari kalangan ahli kalam dan tasawuf. Bahkan, mereka
menyangka apabila mereka telah menetapkan kebenaran hal ini dengan dalil
maka mereka merasa telah mengukuhkan hakikat tauhid. Mereka beranggapan
apabila telah menyaksikan dan mencapai tingkatan ini artinya mereka
berhasil menggapai puncak tauhid. Padahal sesungguhnya apabila ada
seseorang yang mengakui sifat-sifat yang menjadi keagungan Allah ta’ala,
menyucikan-Nya dari segala sesuatu yang mencemari kedudukan-Nya, dan
meyakini Allah satu-satunya pencipta segala sesuatu, tidaklah dia
menjadi seorang muwahid sampai dia mengucapkan syahadat laa ilaha
illallah; tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, mengakui
Allah semata yang berhak diibadahi, menjalankan ibadah kepada Allah dan
tidak mempersekutukan-Nya.” (lihat Fath al-Majid, hal. 15-16)
[19] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidaklah tercela orang
yang menampakkan madzhab salaf, menisbatkan diri, menyandarkan dan
merasa mulia dengannya. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menerimanya
sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Sebab madzhab salaf itu
tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa [4/149] dinukil dari al-Manhaj as-Salafi ‘inda asy-Syaikh al-Albani, hal. 16)
[20] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sudah
seharusnya cara anda beramar ma’ruf adalah dengan cara yang ma’ruf,
demikian pula cara anda dalam melarang kemungkaran adalah bukan berupa
kemungkaran.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar, hal. 24)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar